BERTEMU PENULIS IDOLA (3)


(Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Dibuat Angka Delapan)

Oleh: Slamet Widodo, S.Pd.
(Guru Matematika MTs Negeri 3 Bojonegoro)

Artikel ini masih berkaitan dengan Pak Ajun Pujang Anom. Entahlah, pertemuan yang singkat itu cukup untuk membuat saya sangat berkesan. Banyak pelajaran yang bisa saya dapatkan. Dan satu lagi, bisa memunculkan ide dan inspirasi untuk menulis. Artikel yang sedang Anda baca ini buktinya.

Pertemuan Ahad Pagi itu, sebenarnya saya agendakan untuk kopdar (Kopi darat) anggota keluarga KBM Bojonegoro bersama Pak Ajun. Namun, karena ada berbagai hal, anggota keluarga KBM hanya dua orang yang bisa hadir. Saya dan Mas Aan dari Soko, Tuban. Persis, pertemuan saat itu hanya tiga orang saja.

Kopdar, bisa diartikan dengan ngopi sambil ngobrol-ngobrol. Namun, ternyata pagi itu, kami tidak memesan atau minum kopi. Tapi minum teh botol dari Pak Ajun. Dan makanannya rujak buah manis, khas alun-alun.

Hal ini klop dengan jargon sebuah iklan di tipi. Apapun makanannya, minumnya teh botol dingin.

Oh iya. Sekedar informasi, tiap kali saya berkunjung ke alun-alun, terutama di Bojonegoro dan Tuban. (Saya belum pernah ke alun-alun Lamongan. Ajaklah saya ke sana. Plis...). Saya selalu memesan dan makan rujak buah manis itu. Bagi saya, kurang afdhol rasanya, apabila berkunjung ke alun-alun tidak makan rujak itu.

Heleh, kok malah membahas makanan. Bikin ngiler aja. Iya deh iya. Saya akan bahas langsung pada intinya saja.

Begini, saat asyik ngobrol bertiga soal literasi. Tiba-tiba saya mencium bau aneh. Bau apa ini? Saya cari sampai dapat!

Baunya pesing. Saya cari-cari bau itu. Sambil celingak-celinguk. Tidak ketemu juga. Padahal saya juga tidak ngompol di celana. Kok ada bau pesing yang menyengat.

Sepertinya bau itu berasal dari taman yang berada tepat di belakang kursi yang kami duduki.

Wah, gara-gara bau pesing ini, bikin kami dan (tentu) pengunjung lainnya tidak nyaman untuk duduk berlama-lama di sini.

Saya jadi teringat dengan pelajaran fikih yang disampaikan oleh guru saya sewaktu masih duduk di bangku MTs dan saat ngaji.

Salah satu adab atau etika buang hajat atau kencing, tidak boleh di bawah pohon yang rindang yang biasa dibuat tempat berkumpulnya orang-orang.

Selain itu, juga tak boleh di tempat terbuka tanpa aling-aling. Kalau pun terpaksa, harus duduk dan tidak menghadap atau membelakangi kiblat.

Namun, biasanya anak-anak suka kencing di jalan sambil berdiri. Parahnya lagi, kencingnya sambil membuat angka delapan. Atau motif batik.

Hal ini biasa dilakukan anak laki-laki. Loh, kok anak laki-laki yang jadi kambing hitam, sih? Umumnya sih begitu. Anak perempuan mau meniru? Nggak bisa lah. Hehehe...

Ah, sudah lah. Nggak usah membayangkan yang aneh-aneh.

Apalagi kalau Anda sebagai guru. Hukumnya “haram mugholadhoh” apabila meniru seperti itu.

Kalau masih ngeyel menirunya. Maka ungkapkan yang pas adalah: “Guru kencing berdiri, murid kencing dibuat angka delapan.”

Ah, tentu tidak lah. Masak guru mau memberi contoh tidak baik.

Namanya saja GURU kepanjangannya DIGUGU dan DITIRU. Bukan WAGU tur SARU.

Kepohbaru, 21 Agustus 2019

Comments