NYADRAN HANYA TRADISI, TAPI SELARAS DENGAN AJARAN ISLAM

Foto Sumber: Suaramerdeka.com

Oleh: Slamet Widodo
(Guru Matematika MTs Negeri 3 Bojonegoro)

Beberapa waktu lalu, tepatnya hari Jum'at Pahing, 26 Juli 2019. Dusun tercinta saya, dusun Bulu, desa Simorejo, Kecamatan Kepohbaru, Bojonegoro sedang mengadakan sebuah acara tahunan. Namanya Nyadran.

Nyadran selalu dilaksanakan pada hari Jum'at Pahing dalam setiap tahunnya. Biasanya mengambil waktu setelah panen padi kedua (panen walikan). Sekitar bulan Juli dan Agustus.

Tradisi nyadran ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak jaman nenek-moyang. Entah sejak kapan dimulainya. Saya belum mendapatkan info secara lengkap.

Rangkaian acara nyadran ini dimulai pada hari Kamis pagi. Semua keluarga, terutama ibu-ibu dan para wanita, memasak makanan. Berupa nasi, lauk (daging ayam, telor atau ikan laut) serta sayur-mayur. Tak ketinggalan jajanan seperti krecek, opak, tape ketan, buah pisang dan lain-lain.

Setelah semua masakannya matang, kemudian diantarkan kepada keluarga (baik yang dekat maupun jauh). Tak ketinggalan, tetangga kanan-kiri juga berkesempatan mencicipi masakan tetangganya. Tradisi saling memberi makanan kepada keluarga dan tetangga ini disebut dengan istilah _weweh_ (Bahasa Jawa berasal dari kata _aweh-aweh_ yang artinya saling memberi).

Hal ini seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah saw.

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR Muslim)

Sore, selepas salat Ashar, para lelaki (terutama Bapak-bapak dan para memuda) datang ke makam dusun. Tujuannya untuk ziarah dan mendoakan kepada leluhur yang sudah wafat. Dilanjut setelah salat Maghrib, seluruh kepala keluarga mengajak serta anak-anak lelakinya untuk datang ke masjid dan musala dengan membawa tumpeng. Kemudian mengadakan tahlil bersama. Tujuannya juga mendoakan leluhur yang sudah wafat.

Kegiatan ini juga sesuai dengan hadits Rasulullah Saw.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau *do’a anak yang sholeh*” (HR. Muslim no. 1631)

Jum'at Pahing pagi, sekira pukul 09.00. Seluruh kepala keluarga berbondong-bondong datang ke rumah Kepala Dusun atau Pepunden dengan membawa tumpeng yang diberi alas encek (talam yang terbuat dari anyaman bambu). Setelah didoakan oleh Kiai atau sesepuh desa, tumpeng-tumpeng tersebut diambil secara acak oleh semua orang yang datang untuk dibawa pulang.

Intinya, tujuan dari nyadran adalah mengirim doa kepada leluhur (orang yang pertama kali babat alas untuk dijadikan dusun atau desa) dan juga orang tua yang telah wafat. Bukan hanya itu, di dalam tradisi nyadran juga ada kegiatan saling berbagi makanan. Hal itu di dalam Islam disebut dengan sedekah (shadaqah).[]

Wallahu'alam...

Catatan:
Mohon koreksinya jika ada salah dalam mengutip hadits. Penulis selalu terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca yang budiman.

Kepohbaru, 10-08-2019

Comments