Oleh: Slamet Widodo
Hari
itu Minggu, 18 Maret 2011. Pagi-pagi buta setelah sholat subuh sementara anakku
Zahra belum bagun, aku harus segera ke rumah ibuku untuk kontrol. Setelah lima
hari kemarin berobat ke dokter H. M. Azhari, Baureno.
Ibuku
sakit mata. Selain itu juga, kondisi kesehatan ibuku kurang baik. Badannya
kurus, sampai-sampai tulang di bagian dadanya terlihat. Di saat malam ibu tidak
bisa tidur. Bahkan pernah suatu malam, sepanjang malam ibu tidak tidur sama
sekali. Entah kenapa dan apa yang ibu pikirkan. Ibu jarang sekali makan,
katanya kalau makan selalu ingin muntah.
Padahal,
sudah berkali-kali ku obatkan ke dokter, ibu masih belum juga baikan. Namun
kali ini, setelah saya bawa ke dr. Azhari ada perubahan ke arah lebih baik.
Pukul
06.00 WIB aku sampai di rumah ibuku. Selang 15 menit aku berangkat membonceng
ibu. Sebelum itu, ibu ku pakaikan jaketku dan helm pinjam dari tetangga
belakang rumah agar ibu tidak kedinginan dan masuk angin.
Sebelum
berangkat ibu sudah saya ingatkan,
“Bu,
makan dulu, walaupun hanya sedikit nanti biar tidak sakit. Soalnya ini mau
suntik.”
“Tidak
nak, cukup, ibu sudah makan pisang” jawab ibuku.
Akupun
mengiyakan, walaupun ibu hanya makan satu buah pisang saja. Padahal ibu sudah
masak nasi, namun baru nasi yang dimasak, sementara lauk dan sayurnya baru akan
dimasak nanti setelah pulang dari berobat.
Aku
bonceng ibuku dengan motor Supra X ’92ku. Merayap pasti menyusuri dinginnya
pagi menuju Baureno. Setengah jam kemudian kami sampai di tempat dr. Azhari.
Ternyata sudah banyak pasien yang antri.
Namun kebetulan setelah menunggu dua pasien, kini giliran ibuku masuk
dan akupun ikut masuk.
“Lho, ibu,
bagaimana, ada perubahan? Silakan duduk” tanya dokter ramah.
“Iya
dok, Alhamdulillah sedikit lebih baik. Mata saya juga cukup baik dibanding
kemarin. Namun perut saya kembung tidak bisa kentut, badan saya masih lemas.”
Jawab ibu.
“O…?
Iya, tidak apa-apa, nanti saya suntik insya Allah akan segera sembuh.”
Lalu
dokter memeriksa mata ibu, kemudian ibu di-tensi, dan di kir.
“Mas,
mata ibu anda terkena katarak, jadi sulit disembuhkan. Harus operasi. Tapi
tidak apa-apa, katarak tidak terlalu berbahaya.” Dokter menjelaskan kepadaku.
“Iya
dok.” Jawabku singkat.
Aku
tahu bagaimana perasaan ibu setelah mendengar penjelasan dokter. Ibu akan shock
mendengarnya.
Tak
lama kemudian,
“Silahkan
tengkurap bu, mau saya suntik.” Pinta dokter.
Ibupun
mematuhi perintah dokter, tengkurap, lalu dokter menyuntiknya. Aku tahu, ibu
kesakitan saat disuntik. Hal itu terdengar dari rintihan ibuku. Karena saat ibu
disuntik aku tidak melihat, aku tidak tega melihatnya.
Beberapa
saat kemudian ibu dan aku duduk di ruang tunggu untuk mengambil resep. Namun,
saat hendak berdiri, ibu tiba-tiba pingsan. Untung saja aku di dekatnya
langsung membopongnya.
Aku
panik, dokter pun panik dan juga pasien yang masih antri pun juga ikut panik.
Dokter
dan apotekker pun menghampiriku yang sedang membopong ibu. Mereka menyarankan
untuk membaringkan ibu ke dipan pasien yang berada di ruangan belakang apotekker.
Ibu diberi teh segelas hangat.
Saat
ibu tersadar, dokter meminta saya untuk meminumkan teh hangat. Ibu pun
meminumnya.
Kemudian
ibu berkata,
“Nak
pandangan ibu tiba-tiba gelap. Badan ibu gemetar. Keringat ibu dingin. Enggak
tau kenapa?”
“Iya
bu, tenang, istirahat dulu di sini. Enggak apa-apa. Ditenangkan pikirannya.”
Dokter menenangkan ibu sambil memeriksa tensinya.
“Tensinya
bagus, 120.” Tambah dokter.
“Iya
dok. Mungkin ibu takut, kata dokter harus operasi.” Jawab ku.
“O…
itu? Tidak apa-apa bu. Semua orang pasti mengalami katarak.” Dokter menenangkan
ibuku.
“Putranya
berapa, bu?” Tanya dokter lagi.
“Hanya
saya dok.” Jawabku. Karna kelihatannya ibu masih malas untuk bicara.
“Oh,
lha, kerja di mana Mas?” selidiknya.
“Di
MTsN Kepohbaru, dok”. Jawabku.
“Sudah
PNS?” Tanya dokter lagi.
“Alhamdulillah,
sudah dok.”
Dokter
pun menjelaskan banyak hal agar ibuku tenang, sadar dan tidak takut serta
bersyukur. Karena anaknya walaupun satu sudah menjadi PNS. Sementara aku mendengarkan
dan duduk di bagian bawah kaki ibuku berbaring.
Setelah
dirasa agak baikan,
“Tenang
dulu bu, istirahat dulu, nanti saya periksa lagi.” Pesan dokter.
Dokter
pun meninggalkan kami, untuk menangani pasien yang lain.
Tiba-tiba
ibuku berkata sambil meneteskan air mata,
“Nak,
terus kalu sudah begini kamu dengan siapa nak?”
Akupun
sebenarnya menangis, tapi aku tahan, jangan sampai ibu tau kalau aku
benar-benar sedih dan menghawatirkan keadaanya.
“Ya,
sendiri. Lha terus sama siapa lagi to bu? Dah ga apa-apa. Istirahat dulu,
tenangkan hatinya, jangan takut.” Hiburku.
Memang,
aku adalah anak tunggal. Satu-satunya tambatan hati ibu adalah aku. Kakak ku
meninggal saat aku masih kelas 6 SD. Dan bahkan, empat bulan yang lalu nenek ku
juga meninggal. Mungkin hal itulah yang membuat ibu terpukul, sehingga jatuh
sakit.
Aku
sempat berfikir untuk mencarikan ibu mobil untuk membawanya pulang. Saya
khawatir nanti ibu tidak bisa membonceng sepeda. Ku tawarkan niatanku, namun
ibu menolaknya.
“Sudah,
ibu tidak apa-apa.” Jawab ibu, berusaha menghiburku.
Sudah
hampir satu jam ibu istirahat, kondisinya sudah agak membaik. Akupu mengajak
ibu pulang dan ku bonceng dengan motorku. Sebelum jalan, aku pesan sama ibu,
“Nanti
pegangan yang erat, bu.”
“Iya,
nak. Sudah ayo jalan”. Jawab ibuku, lirih.
“Benar,
ibu enggak apa-apa dan bisa bonceng?” aku memastikan.
“Iya.”
Jawab ibuku pelan.
Motorpun
aku jalankan 40 km/jam. Jarak tempat dokter itu dengan rumah saya 30 km. Satu
setengah jam kemudian aku sampai juga di rumah.
“Alhamdulillah,
sudah sampai rumah…” ucap ibuku.
Kemudian
ibuku bebaring di bayang yang ada di ruang tamu untuk istirahat.
Ibu,
semoga ibu cepat sembuh. Aku sangat sayang pada ibu. Ibu, do’a ibu sangat
mustajabah. Aku berharap ibu panjang umur sehingga do’a ibu selalu membasahi
tubuhku. Amin.
Ya Allah,
hamba mohon kesempatan untuk bisa berbakti kepada ibu dan bapakku, hamba mohon
kesempatan untuk bisa membahagiakan ibu dan bapakku. Allahummaghfirlii
waliwalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani shoghiiro… Amin.
Comments
Post a Comment