Cerdas Memaknai Solidaritas

(Refleksi Hari Lahir Pancasila)


Sering kita mendengar ungkapan “solidaritas tanpa batas”. Ungkapan itu jamak ditulis dan diucapkan oleh sebagian besar pemuda. Bagi mereka, makna solidaritas ini menjadi sesuatu hal yang sakral. Kata itu menjadi prioritas dalam sebuah kelompok atau organisasi yang mereka ikuti. Tujuannya, tak lain agar organisasi tersebut menjadi lebih bersatu dan kompak. Sehingga mereka rela berkorban apa pun demi organisasi yang mereka banggakan itu.

Agar dapat lebih bersatu untuk kepentingan bersama, hal yang harus dimiliki oleh setiap kelompok/organisasi adalah satu rasa, satu jiwa, satu pikiran dan satu tujuan. Namun ironi, sebagian pemuda kebablasan dalam memahami makna solidaritas ini. Pemahaman yang salah itu yang menjadi penyebab rusaknya moral para pemuda. Padahal nantinya mereka akan menjadi pemimpin bangsa di masa yang akan datang.

Pengertian yang jamak kita temui adalah, apabila ada salah satu anggota kelompok terlibat dalam sebuah masalah dengan kelompok lain. Maka anggota lain dalam kelompok tersebut akan membelanya. Tak peduli benar atau salah. Semua itu dilakukan atas nama solidaritas. 

“Jika ada salah satu anggota (saudara) yang jatuh, kita harus jatuh juga agar bisa merasakan apa yang ia rasakan.” 

Itu adalah makna solidaritas yang salah kaprah. Seharusnya bukan begitu. Agar lebih bernilai positif. Maka hal yang harus dilakukan adalah memotivasi saudara yang terjatuh supaya ia bisa kembali bangkit.

“Jika ada salah satu anggota (saudara) yang jatuh, mari kita angkat bersama agar ia bisa bangun kembali dari tempat tersebut.”

Parahnya lagi, apabila ada pemikiran semua yang di luar kelompoknya adalah musuh. Pemikiran seperti ini apabila tertanam di dalam jiwa para pemuda maka akan berakibat fatal. Hal inilah yang menjadikan perpecahan antar warga negara. Dan tidak sesuai dengan nilai sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia.

Sepertinya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila mulai luntur di dalam jiwa bangsa ini. Mereka cenderung mementingkan kelompoknya masing-masing.

Apakah ini salah satu akibat dihapuskannya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di bangku sekolah? Entah.  

Sebagai pemuda, seharusnya kita memiliki pemikiran yang berorientasi pada masa yang akan datang. Pemuda yang bisa merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa yang mulai robek ini. Sebab, pemuda adalah calon pemimpin masa depan. Seperti apa nasib Indonesia mendatang, menjadi tanggung jawab kita bersama.   

Kita harus bisa menghargai perbedaan. Nilai-nilai Pancasila harus betul-betul tertanam di dalam jiwa kita. Kita adalah saudara sebangsa dan setanah air, walaupun beda organisasi atau kelompok. Tentunya setiap kelompok memiliki tujuan baik, yakni memajukan bangsa. Justru apabila masing-masing kelompok bekerja sama, maka akan terwujud _baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur._    

--- 

Simorejo, 
10 Syawal 1441 H
2 Juni 2020 M.

Oleh: Slamet Widodo
Guru MTs Negeri 3 Bojonegoro

Comments